Selasa, 16 November 2010

Papa.


Dari sekian banyak cerita dan mengamati di sekeliling, hubungan anak perempuan dan ayahnya, memiliki satu benang merah, Ayah itu tidak se-ekspresif Ibu dalam mengungkapkan perasaan, Ayah itu orang yang diam saat Ibu marah, yang sepertinya cuek, yang tidak sesering Ibu telpon-telpon kalo anaknya jauh, tapi di situlah soft spot nya. Ayah itu cuma seorang laki-laki yang dunia sudah membentuknya agar tidak terlihat lemah. Mengungkapkan perasaan, di negara ini, entah kenapa dianggap sebagai suatu tanda kelemahan.

Ayahku yang aku panggil Papa adalah orang yang tidak pernah bisa menolak APAPUN yang aku minta. Hubungan konvensional anak perempuan dan ayahnya. Jika berhadapan dengan Mamah adalah diperlukannya Proposal 48 halaman dengan argumentasi yang mantap, maka hanya perlu sedikit usaha saja untuk membuat Papa luluh. Dari aku kecil sampai aku awal kuliah, Papa kerja di luar kota, kami hanya ketemu rutin Sabtu pagi sampai Minggu malam. Sering, dulu tiap Sabtu pagi, aku bangun tidur dan di sisi tempat tidur ada barang-barang yang aku suka. Buku, baju, majalah, boneka, dan yang paling fenomenal adalah Rollerskate. Tanpa campur tangan Papa, walau aku mau nabung sampe setengah harganya pun, aku haqqul yakin, Mamah gak akan ngasih ijin beli Rollerskate, apa itu, udah ada sepatu roda kan kamu, mahal pula, gak penting. :) 

Pas SD, Papa ini yang paling sering nyuruh aku bolos. Iya. Bolos sekolah. Dengan segala rupa iming-iming yang dijanjikan kalau aku mau bolos dan kami pun jalan-jalan ke luar kota. Papa juga yang paling gak tegaan tiap aku terlihat terlalu keras mengejar sesuatu, He always told me, don't be too hard to yourself.

Masalah mulai muncul saat putri kecilnya mulai SMA. Aku yang udah bisa main sampai malem kalo ada acara-acara, nginep di rumah temen, pacaran, mulai membuat dia khawatir. Apalagi aku dari awal menegaskan, gak mau kuliah di Surabaya, seperti yang dia minta. Ada satu masa, aku dan dia gencatan senjata. Entah kenapa, aku sama sekali gak bisa berargumentasi dengan baik sama Papa. Yang ada, aku akan ngomong sambil nangis, dan Papa gak tega, tapi ditega-tegain, dan begitulah. Thanks God, Mamah yang bisa jadi moderator di saat-saat seperti itu. Atau saat aku dan mamah sama-sama susah menerima logika masing-masing, Papah yang datang dengan aturan konvensional yang manjur.
Konsep Daddy's Little Princess ini terbawa sampai kapanpun. When my life was in a total mess, aku ingat, telepon rumah, curhat panjang lebar ke Mamah tentang my massive broken heart. Dan begitu telepon dioper ke Papah, at the time He asked me, sekarang kamu perasaannya gimana, Yang? (Yes. My Mother and Father sometimes called me: Sayang), I couldn't say any single words. I cried and crumbled.

Kalau ada orang yang paling mempengaruhi pandanganku tentang hidup, tentang cinta, tentang menerima diri sendiri, Papa dan Mamah adalah dua orang teratas yang harus diberi penghargaan. Papa adalah yang menamkan satu hal, bahwa jangan berharap orang lain akan menghargai kamu sebelum kamu menghargai diri kamu sendiri. Papa yang selalu meyakinkan aku untuk tidak memandang rendah ke diri sendiri, karena itulah awal dari kegagalan yang lebih besar.

Tentang cinta, aku selalu menganggap orang tuaku biasa saja. Sampai setelah beberapa tahun yang lalu, Mamah sakit, dan berjuang melawannya, tante-tanteku cerita bahwa mereka mendoakan anak-anak perempuan mereka agar kalau menikah nanti akan menjadi pasangan seperti Papa dan Mamah. Di titik itu, aku seperti mendadak berhenti. Dan kembali mengingat satu-persatu, menyadari pelan-pelan bahwa mungkin aku menganggap biasa saja karena itulah yang aku lihat dari mereka berdua dari kecil, sehingga tidak ada keistimewaan yang ditemukan, aku pikir memang begitulah seharusnya suami istri. Saling menyayangi, saling memberi dukungan dengan cara masing-masing walaupun itu tampak tidak lazim bagi ukuran orang lain, punya jokes-jokes intern yang gak diketahui orang lain, Papa mijit kaki Mamah pake minyak tawon kalau lagi kecapekan, Papa yang ngacak rambut mamah kalau habis nyela, aku pikir itu hal yang memang seharusnya begitu. Dan aku sebagai anak, terharu, kalau ada orang lain yang mendoakan agar anaknya nanti seperti orang tuaku.

To be this far, I'm so glad that we have a good father-daughter relationship. Aku senang dibesarkan di keluarga yang bisa saling memeluk, mencium, setiap kami bertemu. Tidak bahwa aku menganggap orang tua lain yang tidak ekspresif itu tidak baik, tapi aku menikmati ungkapan perasaan sayang. Apalagi kami cuma bertiga, tidak ada pilihan lain selain menjadi tim yang solid.
Papa ulang tahun Sabtu nanti, his 53rd birthday. Dan lagi-lagi aku hanya mengharapkan kesehatan dan kebahagiaan untuknya setiap hari. Dan maaf yang paling dalam untuk semua ke-keras-kepala-an, pembangkangan, dan hari-hari yang berisi ketidaksepahaman antara aku dan Papa. Dan aku adalah satu orang yang percaya bahwa Tuhan meletakkan Ibu dan Ayah pada posisi terhormat yang sama.

Papa, Selamat Ulang Tahun. Kebahagiaan memang pilihan setiap orang, tidak ada satu orang lain pun yang bertanggung jawab untuk kebahagiaan kita. Tapi kalau ada kebahagiaan Papa yang karena garis kehidupan dilewatkan melalui aku, You have to know, I did, I do, and I will always try the very best to make you happy. And proud. 

And I will always be your little girl. So, watch out! ;)

dd

gambar yang manis di atas, dari sini.

9 komentar:

Vio mengatakan...

+mewek mewek+

Ariza mengatakan...

set dah. cepet amat komennya. Akupuun sambil mewek2 nulisnyaaa... :')

btw, selamat yaaa udah ga virgin teatership nya :).

riana mengatakan...

terharu baca posting ini, cha *lap air mata*...

Anonim mengatakan...

ayahku -walau ga selalu tetapi sering- di pagi hari bawain aku coklat panas, ngajak keluar dimalam hari buat nyari martabak,sibuk ngepakin aneka makanan waktu aku pertama berangkat ke jurangmangu (weew berat kali tas ku saat itu..), nyariin brownies tiap aku sakit, telp nanyain aku dah makan ato belom sesaat sebelum aku kompre (anu, biasanya klo mo kompre kan dtanyain dah blajar ato belom kan ya?walo retoris...tapi ayahku malah nanyain menu sarapanku..)
dan ngirim satu paket penuh makanan waktu sebulan pertama penempatanku dPalu
astaga, akhirnya kau tahu knapa ukuran badanku segini...
klo mamiku.. (ntar aj d crita yg ini klo dah ad posting yg pas,,,,hohohohoh)

*fatty, yg lsg pgn telp krumah, n baru tahu klo keabisan pulsa...

Ariza mengatakan...

mba Ri: hihihihi,, makasi mba Ri...

Fatty: yah, yang posting ttg mamah udah bulan April kemaren Fat, hehehehe...

Samaaaapuuuun, orang tua ku kalo ujian juga ga pernah nanya udh belajar apa belom, nanyanya udah makan apa? dll. hehehehe

Anonim mengatakan...

setuuju bgt Cha hubungan anak perempuan dan ayahnya, memiliki satu benang merah..

jadi kangen papa hiks...

Ariza mengatakan...

Mitra: hehehhe, terima kasih sudah berkunjung yaa :)

Natta mengatakan...

Kalo aku sama papah kok ga sedeket aku sama mamah ya? Apa selalu gitu ya, anak cowok lebih deket ke mamahnya, kalo anak cewek lebih deket ke papahnya?

Ariza mengatakan...

aku juga deket banget sama mamah sih, Ta... Tapi deketnya beda.. kalo sama mamah itu kayak bestfriend,soulmate, kalo papah sm anak perempuan itu lebih emosional aja sih.. hehe