Kamis, 18 Desember 2014

Sehari sebelum Amsterdam

Aku sedih sekali seperti akan pergi dalam waktu yang sangat lama, katamu. Padahal sedang tidak ada apa-apa. Cuma ada satu tiket kereta pergi pulang, beberapa jam dari kota ini, kamu pulang menghabiskan liburan musim dingin. Sejak awal, dahan-dahan yang memutih ditumpuki salju di dekat stasiun kereta itu, membentuk rupa yang penuh kerinduan. Mungkin dia rindu pucuk-pucuk daun yang sudah berwarna coklat di tanah. Atau rindu udara yang sedikit gerah.

Seperti yang sudah-sudah, alarm perpustakaan berdering-dering, 15 menit sebelum tengah malam. Kalau kita sembunyi di dekat rak buku besar itu, kita akan terkunci di sini sampai besok pagi, katamu. Sambil memakai mantel dan topi wol, lagi-lagi kamu terlihat begitu sedih, sedang aku biasa saja. Perpisahan demi perpisahan yang selalu terasa menyesakkan, membuatku terbiasa lama-lama. Tiket pesawat, tiket kereta, atau kapal ferry yang hanya satu arah tanpa tahu kapan kembali, sudah kurasakan satu-persatu kalimat pamitannya. Bandara, stasiun, serempak meneriakkan sampai jumpa, yang kita tahu hanya di mulut saja.

Bukan aku tidak akan merindumu, tapi perpisahan sudah seperti kaki-kaki yang terbiasa berjalan berkilo-kilo meter setiap harinya. Sedih dan rindu, perasaan sendirian yang tiba-tiba menyergap sepulang dari stasiun kereta, menyeramkan. Tapi aku sudah mengerti, sebentar atau lama, suasana itu hanya sementara. Percuma kutahan waktu, percuma kutahan kamu, pilihannya hanya berjalan maju atau diam di sini, sementara dunia berlari-lari.

Kubiarkan kamu berjalan setengah berlari dengan kemarahan yang kamu salurkan lewat langkah-langkah kaki yang lebar. Benar mungkin katamu, tidak ada yang lebih menyebalkan dari manusia sombong yang merasa paling tahu tentang kehidupan. Aku bilang dari awal, aku lebih suka kamu yang membenciku. Sudah aku bilang, teruslah membenciku, jangan berubah, karena tiap-tiap kamu bilang suka, aku merasa biasa saja. 

Tiap-tiap kamu berlari pergi, tiap-tiap waktu yang kamu habiskan tanpaku, di situlah aku, melihatmu dengan tatapan yang selalu kamu harapkan. Tiap-tiap kamu tidak suka cara bicaraku dan jalan pikiranku, pilihan warna tas punggung baruku dan buku-buku favoritku, kamu tahu, di situ aku paling cinta.  



Tidak ada komentar: