Kamis, 16 April 2015

On Birmingham


Bulan ketujuh sudah di Birmie. Kota ini, yang awalnya tidak pernah saya masukkan ke dalam list keinginan tempat kuliah, lama-lama bikin jatuh sayang juga. Kota yang tadinya ingin saya tuju ya tetap lebih cantik, tapi mungkin karena saya orangnya 'mudah menemukan keindahan' dan 'tidak gampang terpikat walau tahu rumput tetangga lebih hijau' jadi sekarang sudah merasakan rasa-rasa 'rumah' di sini. Apalagi sebulan yang lalu suami dan anak datang dengan lengkap dan selamat (termasuk semua titipan ransum) dari Indonesia. We started a new life. Bentuk kehidupan keluarga yang kami inginkan di Indonesia sebenarnya, banyak waktu luang, ngapa-ngapain bertiga, gantian jaga anak, dan duit cukup. Haha. No, it's not that I get a bulk of stipend, it's just that we don't need to think about education and health for Aruna because everything is free. Kemudian saya jadi semakin kepikiran tentang komersialisasi pendidikan dan kesehatan di negara sendiri.

Tidak membandingkan, karena Inggris adalah negara maju yang sudah sangat mapan dan Indonesia masih berbenah. Walau akhirnya setelah hidup di sini saya jadi tahu kalau semua negara itu punya perjuangannya masing-masing. Ternyata di negara majupun masalah-masalah ekonomi, pro-kontra kebijakan pemerintah, partisipasi politik masyarakat, harga property yang tidak masuk akal, bukannya tidak ada sama sekali seperti yang ada di 'mimpi' kebanyakan orang di negara berkembang. 

However, when we talk about the smallest part of a society, which is a nuclear family, living in an advanced country has a totally different level than in a third-world country. Menjadi orang tua, entah kita miskin atau kaya, pasti membuat kita memikirkan 'dunia' dengan mata yang lebih luas dan dengan jangka waktu yang lebih panjang dari sebelumnya. Ini mungkin semacam benang tipis yang sangat kuat yang menghubungkan satu generasi ke generasi lainnya. Ternyata, di saat kita sebagai orang tua tidak perlu memikirkan biaya pendidikan pendidikan dasar anak (sampai sebelum kuliah) dan biaya kesehatan anak, hidup menjadi jauh lebih baik dan lebih mudah. Tentu saja, teori ini berlaku buat orang yang tidak berorientasi pada uang ya. Bukannya tidak baik, saya bahkan salah satu orang yang percaya bahwa money can buy happiness, tapi kebahagiaan itu terlalu luas wujudnya, hingga ada bagian-bagiannya yang hanya bisa dicapai dengan mata uang lain seperti waktu, kesempatan, kerja keras, keberuntungan atau takdir. Hidup di negara maju buat sebagian orang bisa jadi karena dia punya uang, dia punya kesempatan, hasil kerja keras, atau takdir (atau karma atau apapun bentuknya).

Masalah berikutnya, apa yang bisa saya lakukan nanti sepulang dari Birmingham untuk membuat dunia yang lebih baik buat Aruna? 


(Menulis ini, yang terngiang Penny Lane-nya The Beatle).         


3 komentar:

Riana mengatakan...

wahhh…akhirnya berkumpul kembali, ikut senang mendengarnya…semoga menambah semangat belajar di perantauan ya cha... :)

kriww mengatakan...

Icha, aku merasakan hidup nyaman versi kamu itu : banyak waktu luang, bisa ngapa2in sama anak, punya duit itu setelah di pulau nan jauh ini... hihihi... happy that you're happy cha

Ariza mengatakan...

Mba Riana: Thanks mba.. Aamiin!

Kriww: good for you, kriww :)