Tepat saat kereta berhenti di jalur tiga,
dan penjual berseragam menjajakan bakpia,
pertama kulihat senyummu lewat deretan toko yang hampir buka,
juga pada tiap kayuhan becak yang berat di jalan menanjak.
Tawamu menyatui derap dokar ramai-ramai menuai jarak,
hangat melampaui matahari pagi-pagi,
dalam pantulan papan nama hotel melati.
Pada reruntuhan di samping taman sari,
dan sekelebatan museum affandi.
Kota ini mirip miniaturnya yang tersimpan jauh di sebalik kemejaku,
mungkin karena keduanya melafalkan satu nama yang punyamu.
2 komentar:
sepertinya aku mengerti Tentang apa ini...ska
yaeyalah lo tau, jangan sampe ngga ckaaaa...
ada yg kelewat itu,,,taman pintar nya ga disebut,,;p
Posting Komentar