Selasa, 20 Juli 2010

Membuka Satu Laci Memori

Aku mengingat aku yang beberapa waktu yang lalu. Melihat nanar pada kegelapan yang diciptakan oleh dimatikannya lampu kamar dan telungkupan di balik selimut tebal. Buku, kertas, pulpen, boneka garfield, seprei yang kesana kemari, tas dan segala isinya di sisi kasur yang bahkan tak kuingat lagi mana sisi kepala dan mana yang kaki. Detik dan menit yang berkejaran untuk jadi yang terlambat berjalan, tangisan dan putaran waktu ke dua tahun yang lalu. 

Bedak, mascara, lipstick dan blush on adalah musuh. Kalaupun pura-pura berteman hanyalah karena rutinitas sembilan-ke-lima yang sudah beberapa kali kutinggalkan untuk sesekali duduk meringkuk di sofa warung kopi di pusat perbelanjaan, mencoba berpuluh-puluh sepatu untuk tidak ada yang dibeli. 

Terhina adalah kata yang paling tepat. Karena tak ada yang mesti menjaga sesosok bernama hati, bila pengkhianatan sudah ditandatangani. Tak ada yang mesti dipertahankan, seperti balon yang sudah ditusuk jarum. Pecah. Sekuat usahamu mewarnai buraian balon itu menjadi warna jingga atau merah muda, tak akan ada artinya. Gadis kecil pemiliknya akan tetap menangis kencang, buat apa buraian karet tipis meski warnanya jingga?

Lebih dalam, karena aku bukan gadis kecil yang naif dan bodoh. Terhina adalah perasaan tersisa sampai hari ini, malam ini, dan waktu-waktu di antaranya. Pada lawan kata terhina, aku saat ini adalah mulia, menyisakanmu pada lubang besar bernama masa lalu. 

Pagi tidak lagi mengerikan dan sosok menjijikkan di pintu depan hanyalah handuk di tiang jemuran.


2 komentar:

Kiky mengatakan...

Ichaaa, aku g nyangka kalo kamu juga pernah matiin lampu kamar dan sembunyi di balik selimut tebal klo lagi sedih bgt bgt!

It's just so Me! Haha, kesamaan yang lain lagi :)

Ariza mengatakan...

hihi aku sering begituuu kalo lg sedih... :P