Senin, 05 Juli 2010

Hidup, Peta, dan Kita


Tidak ada yang istimewa dari kita, kecuali mungkin adalah dua orang yang memilih untuk makan malam di suatu tempat yang gegap gempita karena ada layar raksasa dan pendukung Jerman Argentina. Aku dan chicken grill ku dan kamu dengan sirloin steak mu, tepat di depan kita adalah mas-mas yang berdiri sambil merutuki Argentina yang terus saja kebobolan. 

Padaku adalah semua kekaguman yang selama ini tidak pernah aku ungkapkan dengan terang. Kusampaikan atas nama mimpi-mimpi mu tiap malam yang menurutku lebih kompleks dari cerpen Minggu di harian Kompas yang selalu kubaca. Dan padamu adalah semangat menyala yang kalaupun kamu tidak mempercayainya, aku adalah orang pertama yang selalu percaya bahwa api itu ada.

Pernah kita berandai-andai, apa yang terjadi jika suatu hari kita kehabisan cerita, dan tak ada lagi obrolan yang menjadi tulang belakang hubungan ini. Dan kamu menjawab, aku akan membaca novel di kamar, dan kamu akan menonton beberapa DVD, lalu setelahnya kita akan saling bercerita tentang kisah tokoh rekaan Paulo Coelho, Jostein Gaarder, Sam Mendes, Martin Scorsese atau mungkin Garin Nugroho dan Seno Gumira. Ide pikiranmu adalah jawaban dari semua ketakutanku akan kehidupan, kalau kamu mau tahu. Ketakutan yang untuk orang kebanyakan adalah hal-hal remeh temeh yang seharusnya tidak perlu dikhawatirkan. 

Setelah Argentina tertinggal 2-0 dan aku mulai kegirangan karena ini berarti menang taruhan semakin dekat dengan kenyataan, pembicaraan kita mulai berjalan ke arah-arah yang tidak pernah ditunjukkan dalam peta. Begitulah menurutku, hidup adalah perjalanan yang yang dipandu dengan peta kadaluwarsa. Adalah travelling ke Kamboja di tahun 2010 dengan Lonely Planet edisi 2004. Dengan jalan yang sama, dan bangunan penanda yang sudah berbeda. Sedang menurutmu, hidup adalah dua manusia saling mencintai, di dalam mobil di tengah jalan gelap, yang bisa dilihat adalah beberapa meter di depan mata yang cukup dilihat dengan pencahayaan lampu mobil. Sejengkal terang itulah yang bisa kita perkirakan, metode apa untuk menghindari bahaya yang mengancam. 

Hidup adalah ketidakpastian pangkat dua puluh dua. Yang bisa dilakukan hanyalah berjalan selangkah demi selangkah, takut adalah dinding tinggi yang tidak akan membawa kita kemana-mana.

Saat Jerman unggul 4-0, dan perlu jeda sekejap karena kita takkan mampu saling mendengarkan di tengah keriuhan yang tajam, dua atau tiga detik kita hanya saling memandang sambil menunggu celah untuk melanjutkan pembicaraan, saat itulah kutahu hatiku sesak dengan sesuatu yang tak bisa kujelaskan selain dengan genggaman tangan.




P.S: Inti dari postingan ini adalah: Selamat bagi para pendukung Jerman! ^_^

6 komentar:

Ian D. Sitompul mengatakan...

saya membela jerman,
tapi saya jga membela argentina,
fiuuuh...
aku kira mereka ketemu di final,
tapi jerman harus menang piala dunia kali ini!!!

Okit Jr mengatakan...

gw juga pendukung Jerman, cha...
--dan gw-lah yang memenangkan tiket keramat itu untuk ke Kambodjaaa...

--senyum kemenangan..

I. Widiastuti mengatakan...

heheh sekedar ralat: Martin Scorsese :)

Ariza mengatakan...

okit: kambojaaaaaaa!!!! iri iri iri, aku juga mau!

dindie: terima kasih, sudah diralat.

Anonim mengatakan...

aku gak mau ke Kamboja klo gak sama kamu..... it's not about The Kamboja.

It's all about passion of journey...

Sono gih klo mo ke Kamboja ama yang lain. Paling disana mewek-mewek sambil dengerin "Akhirnya Masup Tivi"......

Ariza mengatakan...

ih komennya jahat. aku maunya ke kamboja, myanmar, india, tibet sama kamu. weeeek.