hujan di atas meja: Marka

Sebut saja dia Cumi.

Salah satu sahabat terbaik yang entah dengan tujuan apa Tuhan menciptakan dia dengan banyak hal yang mirip di antara kami, seringkali tiap dia mengungkapkan sudut pandang cahaya dari suatu peristiwa, aku merasa bercermin.

Semalam, tiba-tiba dia telpon. Sambil heboh haha hihi, alasan dia telpon adalah dia butuh terapi. Hah?

Sejak pertama kenal, dari Cumi aku banyak belajar tentang menikmati hidup. Tertawa lepas, belanja-belanja, menjadi diri sendiri. Mungkin kehidupan di suatu waktu di masa yang lalu tahu, orang yang menjalani hidup sepertiku butuh sumber-sumber kebahagiaan berupa seseorang yang memaknai hidup dengan santai...

Melihatnya, bertemu dengannya, satu-satunya yang akan kau lihat adalah hura-hura. Menghakimi dia, 2 detik pun jadi. Tanpa pernah kau tahu, dia adalah salah satu orang berumur 25 tahun yang berbagai masalah dalam hidupnya mungkin seharusnya adalah jatah belajar hidup dalam jangka waktu yang lebih lama.

Cumi adalah keterbukaan dan tentang menerima dengan ketulusan. Tidak artinya tidak. Ya berarti baiklah. Logis, cablak, dan sering mengungkapkan kejujuran dengan kata-kata yang menyakitkan. Semalam, saat waktunya aku banyak bercerita, berkali-kali dia bilang, Iyaaa, gue ngertiii, ah cara pikir lo kan sama aja kayak gue. Aku diam. Iya ya. Vakum berkomunikasi berbulan-bulan, tapi dalam beberapa jam pembicaraan, tiba-tiba kami merasa waktu yang lewat sudah tidak ada artinya lagi.

Buatku, jika kehidupan adalah sesuatu yang tercipta dari akumulasi berbagai kejadian dan pilihan, maka sahabat adalah penanda. Dia adalah marka dari jejaring kehidupan yang seringkali menyerupai paradoks-paradoks dalam ruang bangun. Dia mengingatkan kita untuk merapikan jalur yang sudah dipilih, serupa garis merah yang dipasang pendaki gunung elbrus untuk memudahkan pulang.

Karenanya, ruang dan waktu kadang tak ada maknanya. Dia penanda bagi kita, dan kita adalah marka di jalan raya hidupnya.