Senin, 30 Agustus 2010

Telungkup Kerucut yang Sama


Masih hujan di luar. Hujan beneran atau mungkin pembicaraan kita barusan akan lebih dramatis jika ada backsound berupa rintik hujan. Dramatisasi kadang diperlukan saat hati dan pikiran lari-lari keliling lapangan, satu searah jarum jam dan satunya berkebalikan. 

Kamu masih di situ, masih berkemaja flanel warna merah maroon yang dua tahun yang lalu kita berdebat memilih yang warna merah atau abu-abu. Kamu, dengan penawaran opsi yang hanya satu, hingga kupikir itu lebih mirip sebuah keputusan yang hanya perlu disahkan. Kamu menawarkan, aku yang mengesahkan. 

Masih juga aku diam setelah perbincangan panjang kita, menimbang segala kemungkinan, harapan, dan sesal. Kursi yang kududuki berkaki empat, kokoh, tapi berasa goyah dan tidak menjejak tanah. Keragu-raguanku sebesar keyakinanku mengenal baik kamu, kebingunganku sebesar aku mengerti bahwa langit adalah batasan mimpi-mimpimu. Dulu mimpi kita, tapi rupanya bahwa aku mengambil jalan memutar, lalu kamu berpikir bahwa jalan kita sudah tak bisa satu.

Pembicaraan ini hanya ada di hatiku, saat kamu memandangi ujung sepatumu yang tak ada menariknya buatku, ingin aku menggebrak meja dan memanggil ahli hipnosis terbaik di dunia untuk membuatmu bicara dari alam bawah sadarmu, ingin aku agar kamu berbicara acak saja, tanpa kata-kata yang disusun sedemikian rapi yang justru menimbulkan efek kejut sebegitu rupa. 

Kamu tahu, mimpi berbatas langit. Dia adalah puncak kerucut dengan alas tersebar berbentuk lingkaran di bumi. Adalah kehidupan yang membawaku di sini, menyusuri keliling lingkaran. Bahwa dulu aku dan kamu ada di titik A, lalu sekarang aku di titik B, apa bisa kamu bilang aku sudah tidak melihat puncak yang sama seperti yang kita lihat bersama suatu malam di dekat bandara itu? 
Aku tidak kemana-mana. Mimpiku masih ditelungkupi kerucut mimpi yang sejak pertama bertemu, sudah kita rancang berbagai ketinggiannya. Aku hanya mengambil jalan lebih panjang, menyusuri keliling untuk mencari sudut lain dengan langit yang tidak ada bedanya. 

Kamu masih di situ. Dan kita masih muda, katamu. Kalaupun kita tua, lalu kenapa? Muda dan tua hanya masalah kepentingan, atau mungkin kita masih terlalu takut untuk saling menarik agar keliling lingkaran harusnya kita sama-sama searah jarum jam. Yang kuingat, suatu hari itu, kamu membekaliku dengan sebotol besar air minum dan dua tangkup sandwich tebal, yang secara naif kuanggap itu sebagai dukungan dengan bumbu cinta dan harapan.

Sudahlah. Sudah kuanggukkan kepala. Dan mulai sekarang aku akan membangun kerucut baru dengan pusat berupa diriku, bukan kamu, bukan kita. 
Aku pun masih memakai sweater warna biru itu, yang di musim hujan bertahun-tahun yang lalu, kamu memaksaku membelinya karena aku paling malas memakai jaket, dengan alasan aku bisa berlindung di pungggungmu. Yang seringnya kamu merelakan jaketmu untuk kupakai bila perjalanan dengan motormu menempuh jarak yang cukup jauh.

Pelukan adalah yang paling kubutuhkan.
Tapi dramatisasiku tampak mulai berlebihan. Setelah saling berterima kasih atas waktu yang telah dibagi dan doa semoga mimpi-mimpi akan terwujud, kamu bilang selamat malam, tanpa i love you untuk pertama kalinya sejak...well, 5 tahun lalu? Aku menjawab dengan riang, sampai kudengar nada yang menandakan seseorang di ujung sana sudah menekan tanda END di handphone-nya. Handphone butut yang sering memicu pertengkaran kita, yang sudah berkali-kali kuminta kamu menggantinya, yang kamu hanya tertawa dan aku akhirnya cemberut ngambek berjam-jam, dan kamu dengan cara-cara absurdmu tidak pernah sulit membuatku kembali tertawa. 

Kamu dan semua hal kecil yang akan sulit membuatku tidur lelap malam ini dan malam setelahnya. Aku dan sumber-sumber kebahagiaan baru yang pada akhirnya akan kutemukan.



p.s: LDR Sucks. Terinspirasi dari curhatan malam-malam seorang teman.
Gambar kecurut diambil dari sini.

1 komentar:

Ian D. Sitompul mengatakan...

hahahahaaaaa,aq uga LDR,ca.... menyenangkan.... :D