Selasa, 11 Januari 2011

Jadilah Lebih Dari Itu.



Ada orang yang kalau misalnya temen seruangannya beli rumah yang bagusan, dia bilang: Nanti kan ibu kota bakalan pindah ke luar Jakarta. Rugi dong udah beli rumah mahal-mahal di Jakarta. Atau: Cicilian rumah itu harusnya gak boleh lebih banyak dari 30% income. Karena 15 tahun itu lama loh....

Dia adalah orang yang sama, pas beberapa teman lagi duduk santai-santai nanya ke si A yang memutuskan PP kerja naik mobil sama suami karena diitung-itung, naek kereta AC dan ojek, cost nya justru lebih besar. Komentar dia adalah: Beli mobil itu kan rugi. Masa optimalnya cuma 10 tahun. Abis itu uangnya habis buat perawatan.

Orang-orang kayak gitu biasanya bikin aku menarik diri dari percakapan karena merusak mood. Maksudku, bukan cuma dia kok yang ngerti teori-teori pengelolaan finansial. Dan kalaupun memang dia yang paling jago analisis (MISALNYA), setiap orang atau keluarga itu kan entitas ekonomi, gak bisa disama-rata-kan seperti dia mengelola keuangan keluarganya. 

Gini deh. Bahkan pengelolaan finansial itu ada mahzabnya. Cicilan rumah itu masih diperdebatkan dimasukkan sebagai pengeluaran konsumtif atau sebagai investasi. Siapa yang benar? Semua benar tergantung dari sudut pandang apa kita melihatnya. Kenapa konsumtif? Karena kita mengeluarkan uang untuk MEMBELI sesuatu yang akan kita gunakan sendiri. Rumah itu akan kita tinggali, tidak menghasilkan return apapun. Kenapa investasi? Karena DALAM JANGKA PANJANG, setelah 15 tahun, cicilan lunas, tanah dari rumah yang kita beli, memiliki harga jual yang lebih tinggi. Walau begitu, harga yang lebih tinggi itu, belum tentu melampaui inflasi. Adanya risiko, salah satunya inflasi, membuat kepemilikan rumah ini menjadi investasi. Risk and return.

Bagaimanapun, semakin lama, manusia harus membuat pilihan. Termasuk dalam hal finansial. Apakah mau memulai dengan membeli rumah, apakah memilih untuk lanjut kuliah, apakah beli mobil, atau pilihan lainnya, selama itu dipilih dengan pertimbangan yang baik, gak ada orang lain yang berhak menghakimi. Here comes the word again, JUDGING. Ternyata semakin ke sini, judging orang itu bukan sekedar kenapa kamu bisa putus dari pacarmu, atau kenapa kamu suka menghambur-hamburkan uang buat jalan-jalan, tapi jadi "Kenapa lo bodoh banget sih manage finansial lo?".

Sudahlah. Kalau pekerjaanmu bukan sebagai appraisal, bukan hakim, bukan financial planner, atau at least teman dekat yang orang lain secara sadar memang meminta bantuanmu untuk menilai dan menghakimi, lalu memberi solusi, telan semua penghakiman yang kamu buat. 

Stop judging. Be better than that. If you can't. Just shut your mouth up.



6 komentar:

Kiky mengatakan...

hahaha, sabar chaaa.
G akan berenti kok orang nyari salahnya kita :P

Mungkin hidup kita ini terlalu bahagia kali, bikin iri :P

Ana mengatakan...

aku appraiser loh mba, (mantan calon tepatnya).hehehe

kali dia ngiri karena belum juga beli rumah atau mobil :p

I. Widiastuti mengatakan...

terkadang icha, aku tidak terlalu percaya pada financial advices semacam itu. apalagi yang lengkap dengan perhitungan selama berapa tahun akan untung atau rugi dan lain-lain, karena buatku, semua untung-rugi yang bisa ditakar bisa berubah. bisa jadi menurut perhitungan dia 10 tahun lagi bakalan untung, eh 10 atau 15 tahun lagi bukan apa-apa. aku lebih percaya kepada apa yang mendatangkan manfaat untuk hubungan dengan diri kita atau manusia lain. memang pendapatku ini sangat tidak ekonomikal sih hihihihi. karena Indonesia ini serba tidak pasti. Itu aja yang kuyakin.

udinmu mengatakan...

sante aja cha. toh dia ga ngluarin uang ini. hehehe.

Anonim mengatakan...

bahasannya kok tau-tau serem....

*fatty

Ariza mengatakan...

Amel, Ana, Dindie, Udin: hehehe. makasi ya komen2nya :)

Fatty: lhah, baca tulisanku yg lama2 deh. banyakan galaknya daripada manisnya :P