Selasa, 16 Agustus 2011

Hari Pembagian Rapor

Melihat pilihan yang pernah dibuat di suatu titik bentangan waktu, adalah hari pembagian rapor yang tidak pernah dijadwalkan. Mendadak berdebar melihat tiap angka berderet dari atas ke bawah, lalu kembali ke atas, lalu kebawah berulang kali memastikan tiap angka adalah sebuah kebenaran. Mengembangkan balon memori di sisi kanan kepala, semester lalu yang dihabiskan terlalu banyak waktu untuk ekstrakurikuler. Atau sulitnya berkonsentrasi karena pacar baru yang baru jadian tepat sebelum ujian. 

Pembagian rapor yang mencerahkan beberapa penyesalan, atau membuat kabur sebuah keyakinan.

Lalu, hidup adalah sekolah unggulan tanpa kemungkinan manipulasi nilai setiap murid. Angka itu pasti, delapan adalah delapan, di tahun ini atau puluhan tahun ke depan. Lima adalah lima, siapapun nama belakang yang disandang pemiliknya. 

Betapapun kesuksesan atau kegagalan setiap anak penerima rapor itu di masa tuanya, nilai-nilai tidak pernah berbohong. Bukan yang terpenting, ya, kita tidak sedang membicarakan penting atau tak penting, tapi tentang sebuah bagian sejarah yang dimuseumkan dalam sebuah buku bersampul biru -atau kadang merah-. 

Bagian dari kehidupan yang akan ditanggung sepanjang hidup. Dipertanggungjawabkan. Kadang menyesakkan jika ada kesalahan dibuat yang merobohkan harapan pada mimpi yang pelan-pelan dibangun sejak kecil. Memaksa berputar arah. Penyesalan kecil atau besar hingga menghimpit nafas setiap malam, adalah penyesalan. Mudah bilang, penyesalan tidak ada artinya karena tak mengubah apa-apa, pernyataan  yang perlu diamini, di pikiran tetapi tidak di hati, karena menipu hati, menjadi sok kuat sama saja seperti racun yang diminum sedikit demi sedikit setiap hari, bunuh diri perlahan-lahan tanpa mau disadari.

Begitulah, saat menyesal, kita hanya perlu berjalan dengan kepala menunduk agar mata cuma melihat jarak satu langkah kaki ke depan. Belum penting untuk membuat rencana, yang paling penting adalah terus melangkah. Satu-satu. Sampai penyesalan menjadi sebesar kotak korek api. Kecil dan ringan. Bisa digenggam, dengan kepala kembali tegak dan mata mampu menatap sampai jarak tak terhingga.

(Sedang duduk menatapi satu-persatu angka di buku rapor.
Tampak angka merah di salah satu mata pelajaran utama.)



3 komentar:

Okit Jr mengatakan...

hahaha.. gw gak nyangka pembagian rapor bisa jadi hal yang sangat sedramatis ini lho cha..

suerr dah gw selalu kagum dengan orang orang yang bisa termotivasi bahwa nilai akademis itu satu dari sekian banyak hal yang harus dicapai dengan tawakkal dan ikthiar... #alhamdulillah #yah

sayang orang tua gw rada cuek soal ginian cha.. *aku cyeedihh* #plak
jadi ya gitu...
yang penting masuk 40 besar aja...
dah puas emak gw mah...
dah dibikinin rendang itu... pesta babi tuju hari tuju malam...
:D

Rizki Wulandari mengatakan...

blogwalking dari blognya mak okit sama tante skaah trus tau2 nyampe sini aja..
blognya baguuuuss

salam kenal kak icha. :)

ditunggu postingannya lagi.

Ariza mengatakan...

okit: kebiasaan deh, kalo komen lebih panjang dari postingannya deeeehhhhhh..... :P

rizki: halo salam kenal yaaaa....