Rabu, 19 November 2014

Sore yang ranum dan lambaian tangan turis-turis asing



Tempat ini mengingatkanku padamu, padahal kita tak pernah membahasnya dalam perjumpaan yang hanya sebentar itu. Mungkin sibuknya kota, mungkin ramainya jejak langkah dan pendaran lampu di malam hari yang bercampur dengan keriuhan warna papan iklan, terhubung dengan bebasnya jiwamu, kala itu. Mungkin gaya kekinian dan rokok di ujung bibir dengan lipstik berwarna aubergine mengerucut pada tawamu yang sinis pada gurauan picisan. 

Riak air sungai yang memantulkan jutaan cahaya lampu, membawaku pada kedalaman mata yang pernah membuka hatiku sampai ke sudut-sudut tersulit untuk dijangkau manusia lain. Aku seperti berada di batas antara mimpi dan dunia. Seperti pernah mengalami, tapi lupa apakah itu bagian dari mimpi atau terjadi di suatu masa. Aku mengingatmu hari ini, tanpa korelasi. 

Mungkin, ada yang tertinggal di sel-sel kulitku atau apa, entah kenangan atau keriaan akan waktu yang kita habiskan. Bahkan mengucap kata 'kita' terasa salah. Bahasa-bahasa asing yang tertangkap suara tanpa kutahu maknanya dari orang-orang sekelilingku adalah aku yang melihatmu berjalan menjauh tanpa satu kalipun menengok ke arahku. Tawa gadis-gadis kecil berseragam biru serupa harapan yang kutumbuhkan bahwa besok kamu akan datang jam tujuh malam, mengetuk pintu dan mengajakku makan malam. 

Dan kamu tidak pernah datang. Kamu tidak pernah datang walau sudah puluhan pesan kukirimkan. Lalu saat aku sudah hampir baik-baik saja, seperti daun-daun berwarna kuning yang tiba pada kesadaran bahwa mereka memang sudah seharusnya berguguran di musim ini, kulihat kamu membawa buku dengan tangan kirimu, tujuh lebih beberapa menit, seperti biasanya, memanggil namaku. 

Kamu tahu, kota ini terlalu dijejali dengan atraksi sampai-sampai terasa tak adil bagi kota lain. Dan semuanya menawanku secara penuh, tak tersisa sedikitpun deru nafas untuk dihembuskan pada lain ketika. Kamu, seolah tanpa usaha, menarik lalu menghempas aku, yang mirip anak panah dilontar busurnya. 

Sore yang ranum, turis-turis asing melambaikan tangan pada wisatawan lain di atas kapal yang menyeberangi Sungai Thames. Tak pernah aku mengingatmu sejelas ini, seberbentuk ini, seolah kamu baru saja muncul didepanku lagi membawa kenangan yang ingin kau selesaikan. Aku mengingatmu tanpa ujung pangkalnya, dan mungkin sudah seharusnya begitu, agar tak kutemukan simpulnya.

Kucari-cari email terakhirmu yang aku lupa apa isinya. Oh, kaubilang sedang berada di suatu kota, dan tanpa sebab apapun kamu ingin mengirimiku pesan. Mungkin kita sudah gila. Tapi aku merasa sama bahagia, memilikimu dulu dan tidak memilikimu kini. Walau ada sudut-sudut sepi di taman kota yang menggiringku pada kekosongan yang dulu berwarna hitam karena kau tinggalkan, tapi apa yang pernah kita punya, meresap di sela-sela udara yang kihirup di sini dan di sana. 

Matahari sebentar lagi hilang. Aku sisihkan pedih pada asap rokok dan daun selada yang mulai layu dalam sandwich roti gandumku. Tiupan angin ini dingin. Kubisikkan namamu sembari aku berjalan pulang. Kubiarkan dia hilang dalam kegaduhan. 


London, 14 November 2014

Tidak ada komentar: