Semakin ke sini, aku semakin susah berteman, kataku. Kamu cuma senyum sedikit, mengalihkan pandangan dari laptop untuk menggeser smoothies buah sayuran punyamu ke arahku, lalu kembali menggerakan jari-jarimu di atas keyboard.
Kuminum sedikit. Lalu aku makan sisa wafel nutella cepat-cepat untuk menghilangkan sisa-sisa rasa aneh di mulut. Kamu tertawa.
Aneh deh, biar juga punya teman sedikit, tapi aku merasa cukup. Karena sekarang aku di antah-berantah aja, jadi rasanya sepi. Pas di Jakarta dulu, ketemu sekali dua kali udah cukup. Ya sekarang ada teman-teman baru, tapi ya sekedar berteman, menunjukkan sedikit-sedikit diriku di lingkaran yang berbeda-beda. Kamu hanya menanggapi ceritaku dengan sedikit ketertarikan. Tawa di meja sebelah dan bunyi mesin pembuat kopi sedikit banyak menenangkanku. Wajahmu yang tertutup layar laptop dan tumpukan buku-buku tebal tidak mengurangi kehadiranmu yang seakan nyata di dekat hatiku.
"Kamu itu desperately romantic. No. Hopelessly romantic, if I may say. Hatimu habis buat orang-orang yang kamu cintai. One nerdy girl, who analyses too much, thinks too much, but when it comes to feeling, you just burst".
Aku terbahak keras sambil menangis. Kuhitung satu-persatu buliran air mata yang tidak bisa kuhentikan alirnya. Kucari sedikit celah di rongga dada agar oksigen sedikit membantu mengendurkan himpitan yang mencekik tenggorokan.
"Bohong kalau aku bilang aku baik-baik aja, Tapi aku gak akan sebodoh dulu, I'm improving, you must believe in me!"
Orang ini, satu dari sedikit sekali manusia terdekat di hati saya, yang keberadaannya menjadikan dunia dingin saya menghangat. Yang seringkali menawarkan cinta lewat obrolan nyata dan virtual, lewat kiriman berita-berita artis yang tidak jelas karya seninya, dan umpatan yang memecahkan balon transparan yang seringkali saya tiup untuk melindungi diri di saat sedang terluka. Luka-luka yang kadang muncul karena melihat orang-orang tercintai tersakiti. Luka yang sulit hilang karena hati saya hanya bisa meraba di kegelapan, menduga tanpa punya ukuran.
"Udah, pikirin aja masalah-masalahmu yang banyak itu. Time will heal my pain".
I wish I could.
"I know. I know it with all my heart and bones. But now, just please leave me alone. You're so pathetic that I can't see you in the eyes cos yours are full of sadness which caused by my sadness, which cause more pain in me to see you. Damn it".
I don't know why we became friends at the first place, kataku sambil lalu.
Aku peluk dia, berharap luka hatinya benar-benar disembuhkan oleh waktu. Dan jangan terlalu berbangga, kataku, pelukan ini bukan buatmu. Aku memelukmu untuk diriku sendiri. For the sake of my own happiness.
Tawanya meluncur di belakang punggungku yang melangkah keluar dari tea house. Ini sudah cukup.
Sedalam-dalam cintamu kuselami
Warna-warna terindah yang ada di bumi
Terlukis di jiwa tlah membelai kalbu
Sedalam cintamu tercipta untukku
(*Sedalam Cinta by Indra Lesmana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar