Melihat setumpukan tugas yang penuh dengan angka-angka dan matematika, sebenarnya seperti menyalakan kembang api di sudut hati saya. Matematika itu seperti kombinasi yang pas antara kesukaan dan kemampuan yang saya punya. Aneh memang, tapi saya suka pusingnya menurunkan rumus-rumus, semacam memacu adrenalin dan punya efek mirip kafein. Anehnya lagi, bahkan sejak SD SMP SMA, saya juga bukan yang terbaik di mata pelajaran ini, bukan pula saya masuk golongan anak-anak jenius yang bisa hitung kali bagi tambah kurang tanpa corat-coret di kertas. Saya cuma suka, walaupun makan waktu lama untuk menyelesaikan satu soal, dan saya tidak pernah sekalipun meragukan kemampuan saya dengan dasar-dasar angka.
Sampailah saya kuliah pasca sarjana di negeri dengan sistem pendidikan yang mapan, Inggris, yang membuat saya mulai meragukan satu demi satu hal-hal yang selalu saya masukkan ke daftar 'strenght' tiap melakukan analisis SWOT. Salah satunya matematika. Selain karena banyak (banyak banget, literally) yang punya kemampuan jauh lebih baik dari saya, tapi yang paling membuat saya berfikir bahwa saya harus berlari untuk mengejar adalah critical thiking. Dengan kemampuan matematika yang lumayan bagus, kalau saja di Indonesia sistem pendidikan dasarnya mendukung, mungkin saya jauh lebih bisa berfikir lebih kritis lagi. Kalau saja, saya lebih keras kepala. Karena saya ingat, saya dulu sering membungkam pemikiran kritis saya sendiri, karena saya belajar dari lingkungan bahwa 'terlalu' kritis itu menyebalkan. Dan sayangnya, bukannya belajar untuk menyampaikan kekritisan saya dengan cara yang lebih baik, saya lebih memilih untuk menyimpannya sendiri.
Untungnya, selain menjadi kritikus paling tajam buat diri sendiri, saya juga orang yang sangat terbuka terhadap semua kemungkinan, termasuk kemungkinan untuk melakukan perubahan. Hal ini lalu, lagi-lagi, menggugurkan satu hal yang selama hampir 30 tahun hidup, saya anggap sebagai kekuatan: fast-learner. Jadi, saya percaya di setiap tempat, akan ada golongan atas, menengah, bawah. Mulai dari di kelas, di sekolah, di kampus, tempat les renang, grup teater, klub film, kursus menjahit, kantor, perbankan, se-asia tenggara, se-eropa, apapun! Umumnya, di segala peran kehidupan, saya bisa berada di ketiga golongan itu. Tapi, untuk peran-peran formal, yang gampang kelihatan mata, biasanya saya di golongan tengah (termasuk kemampuan finansial material dan kemampuan bahasa Inggris). Kemampuan akademis, dulu, saya di golongan atas, tapi di dalam golongan itu, saya di tengah atau bawah. Satu-satunya kekuatan saya untuk survive, selama ini, adalah saya bisa mengejar ketertinggalan saya dari mereka yang di atas dengan cepat. Lalu, sampailah saya di sini. Dengan tantangan-tantangan yang mengerikan, saya butuh waktu yang relatif lama, bahkan untuk berada di level cukup.
Dunia kecil yang selama ini saya bangun secara bertahap, runtuh sekejap. Dan, sebentar lagi, Damar dan Aruna datang. Saya sepenuhnya sadar, sendirian pun tidak mudah buat sekolah di sini, apalagi ditambah urusan rumah dan anak. Tapi, mereka kekuatan saya, apapun peran yang sedang saya jalani. Kekuatan yang ada pada mereka sebesar kekuatan mimpi-mimpi saya sampai puluhan tahun ke depan. And I'm so glad that I can share my dreams with them.
2 komentar:
Stay strong kaaak... yey aruna dan suami mau mengunjungi mama tercintaaa :)
"Karena saya belajar dari lingkungan bahwa 'terlalu' kritis itu menyebalkan". Haha, that feeling and fear of being hated, it's TRUE.
Thank you Cha.. :D
Posting Komentar