Kamis, 11 Agustus 2016

Namanya S

Sebulan sebelum selesai kuliah, sebulan sebelum pulang, tiba-tiba aku kepingin menulis di blog ini. Bukan di blog baru tentang mama-mama mahasiswa yang mangkrak karena kemalasan, bukan pula di domain personal yang biayanya sangat terjangkau di sini, tapi di sini. Blog ini terasa seperti teman lama. Aku sedang butuh seorang teman, teman lama, yang tahu paling tidak setengah dari diamku, yang tahu bahwa kadang kata-kata tanpa disaring yang keluar dari mulutku berbanding lurus dengan besarnya kepedulianku, yang tanpa basa-basi, tanpa perlu berfikir apa perlu ketemu di kafe ataukah bioskop, lebih dekat ke rumah dia atau rumahku, teman yang membebani sekaligus melegakan. 

Mungkin semua ini hanya tentang disertasi. Mungkin juga tentang aku yang kali ini berada pada satu waktu, di salah satu fragmen hidup, di mana  Plan A tidak tersedia. Plan terbaik, nomer satu, yang selama ini bahkan tidak pernah aku anggap penting, take it for granted atau apalah, mendadak tidak compatible dan tidak bisa aku kendalikan. Gagal mendapatkan plan A, walau berat, tapi aku sudah biasa melewatinya. Tapi, mendapati list segala kemungkinan tanpa tertulis Plan A di daftar teratas, langsung ke Plan B, C, D, itu yang tidak terbayangkan. 

Mungkin ini tentang disertasi. Atau mungkin aku rindu seseorang, atau sesuatu. Mungkin aku rindu seorang atau justru beberapa teman lama. Sekarang, teman terdekatku adalah sebuah paket software pengolah data yang secara mengerikan mulai aku pahami bahasanya, yang kiasan ataupun yang bukan. Saat di monitor tampak kode-kode berwarna merah yang menunjukkan ada sesuatu yang salah, tanpa panik bertanya pada Google --sang penyelamat di akhir jaman-- ataupun menekan tombol 'help' yang mirip tuhan kecil, bedanya dia to the point, menjawab saat itu juga atau tak jarang bilang bahwa pencarianku tidak ditemukan. Aku akan memahami tanda error itu, memanipulasi dataset, mengubah perintah, atau sekedar memperbaiki typo, lalu kode merah itu tidak muncul lagi, tinggal sederetan angka-angka hitam yang lagi-lagi aku bisa membacanya selancar bahasa ibu. Kami sudah sangat akrab. Aku berteman dekat dan merasa nyaman dengan sebuah program komputer yang hanya mau ngobrol dengan American English, tak peduli dia bahwa aku ada 1,5 jam dari London, bahkan jika aku berada di Timbuktu, dia tidak peduli. 

Mungkin aku rindu. Tapi aku terlalu malas untuk berusaha apalagi menemukan. Dan keberadaanku di dalam diriku sedang aku pertanyakan.



 

Tidak ada komentar: