Rabu, 13 September 2017

Gelisah (1)


Ada kegelisahan yang tidak bisa ditahan sejak pertama mencicipi hidup di negara maju. Sejak pertama saya melihat (hampir) semua orang memegang iphone, lalu menyadari betapa memang hampir semua orang di Britania Raya mampu secara finansial untuk membelinya. Bahkan para pekerja blue collar, misalnya cleaning service, waiters, penjaga toko, dan lainnya dengan gaji UMR. Mungkin mereka hanya perlu menabung 3-4 bulan untuk bisa membeli iphone 6s secara tunai. Kalau mau yang bundling, cicilan 12 bulan, lebih bisa lagi tanpa perlu menabung.

Lalu masuk ke H&M, Zara, Mango, dan merk-merk lainnya yang juga terkenal sampai ke Indonesia. Baju dan aksesoris dari merk-merk itu juga sangat affordable bagi golongan menengah bawah di Inggris. Belum lagi kalau sudah memasuki masa summer sale, boxing day, atau masa-masa diskon lainnya, golongan pendapatan bawah juga bisa banget beli-beli tanpa khawatir dengan price tag.

Kegelisahan itu muncul dari kondisi yang sama dengan di kota-kota besar di Indonesia, tapi dengan kemampuan finansial yang jauh berbeda. Banyak orang memakai iphone terbaru, padahal harga iphone itu lebih tinggi dari pendapatannya selama sebulan. Kadang harus diakali dengan membeli iphone refurbished atau second agar bisa masuk budget. 

Generasi menengah di Jakarta khususnya juga sangat akrab dengan merk-merk pakaian yang sama dengan di negara-negara maju. Padahal kemampuannya sebenarnya tidak sampai ke sana. Belum lagi tas-tas dan sepatu bermerk yang di luar negeri, orang-orang justru mikir-mikir banget  buat beli. Di London, liat orang pakai tas LV bisa dihitung pakai jari. Di Jakarta? Tinggal masuk mall, pasti berjejeran keliatan di sana-sini.

Konon ada seseorang yang menggabungkan semua kartu kredit yang dia miliki agar limitnya nyampe buat beli sebuah tas bermerk. Entah cerita ini benar atau tidak, tapi kenyataannya memang mentalitas golongan menengah di kota-kota besar negara berkembang memang masih berkiblat ke negara maju. Sedihnya, produk-produk lokal yang diproduksi secara independen, yang menjadi tolok ukur kekerenan mereka yang anti-mainstream, seringkali juga memasang harga yang sangat tinggi. 

Artinya, harus keluar duit dalam jumlah besar juga untuk menjadi anak indie yang kaffah. Hmmmfth.

  

2 komentar:

andri K wahab mengatakan...

nama blognya lucu, bisa buat judul postingan ini

stretch film mengatakan...

Bagi saya, Kegelisahan itu datangnya disaat hujan turun kita engga bawa jas ujan / plastik. Disaat kita sedang buru - buru untuk menghadiri sebuah acara.