Senin, 25 Januari 2010

See You Later, Mba....

Aku percaya, soulmate itu tidak serumit menemukan SESEORANG, hanya satu orang dari milyaran penduduk dunia yang menjadi THE ONE. Aku meyakini seperti penulis Eat Pray Love yang menganggap bahwa soulmate adalah orang yang datang ke kehidupan kita untuk membawa sebuah pesan. Pesan yang akan mengubah hidup kita selama-lamanya. Maka, setelah tugas selesai, dia akan pergi. Dan setelah dia pergi, kita bukanlah orang yang sama seperti sebelum dia datang di kehidupan kita.

Pertemuan dengan soulmate ini tidak juga rumit, we just know each other that we are match. Entah dalam bentuk hubungan apa, bisa sepupu, teman sekelas, teman sekantor, les bahasa Inggris, se-angkot, atau apapun, tapi pihak-pihak ini sama-sama tau, bahwa mereka cocok bahkan sebelum mereka saling kenal. 

I've met a lot of soulmates before. Ada yang kebetulan 'sial' masih bertugas menyampaikan banyak pesan agar hidupku lebih mudah sampai detik ini, tidak pernah terpisah secara batin selama uuhmm let say 14 tahun, walau sejak lulus SMA kami sudah berpisah secara fisik. Ada juga yang udah pergi karena mungkin menurut Tuhan aku udah ga membutuhkan pesan-pesannya lagi.

Tiga tahun yang lalu, pertama kali masuk kerja, secara naluriah aku berusaha mengakrabkan diri di lingkungan baru. Ada satu orang yang aku tau dari awal, aku bakalan cocok sama dia, at the first sight. Dan bener aja, meja kami berdekatan, lalu diketahui bahwa kami ternyata memakai skin care yang sama. Sesimpel itu, persahabatan berkembang. Selera akan barang bagus, fashion, sepatu, belanja, keenggaksukaan ke cewe-cewe yang menye-menye yang kok ya-o jadi tipe yang disukai laki-laki, kami bahkan punya kode-kode rahasia kalo ada sesuatu yang dibahas di depan umum. Dia menjadi sosok kakak yang gak pernah aku punya. Cara bicaranya yang menyenangkan, wajahnya yang selalu terlihat tersenyum (dan aku iri dengan ini, mengingat cetakan wajahku yang dari sononya jutek, haha), VERY SMART, dan tentu saja TOUGH.


Aku sempat merahasiakan sesuatu padanya, dan ketika aku udah ga sanggup lagi menghadapi masalahku kemaren, akhirnya aku menceritakan semua yang terlewat di antara kami selama ini. Aku siap kalau dia marah, tapi dia justru membagikan pengalaman hidupnya ke aku, membuka satu cerita pedih di masa lalunya, untuk akujadikan pelajaran dan cermin. Dia ngerti dengan pasti perasaanku, gak banyak memberikan nasehat yang panjang, tapi dia mengajakku mencari sendiri apa yang aku maui. Banyak hal yang dia lakukan untuk membantuku, tanpa banyak bicara, tapi sangat menenangkan. Mungkin benar kata Gus Dur, hal-hal yang tidak diucapkan itu kadang lebih penting. Hari itu, saat aku menceritakan semuanya, sesak nafas yang selalu menjadi gejala stress ku, hilang. Nafasku menjadi lebih ringan.

Dia adalah wanita yang aku kagumi, objectively. Dia berkarier dan mengejar mimpi untuk aktualisasi diri dan bukan sekedar mengejar ambisi. Bahkan sampai sebelum dia pindah ke Jogja, untuk mengikuti suami, dia masih ikut tes beasiswa ke luar negeri. Dia dengan berbesar hati meletakkan jabatan yang diperjuangkan bertahun-tahun, untuk dekat dengan keluarganya. Inilah arti bersyukur yang akhirnya aku yakini, memaksimalkan kapasitas diri.

Sejak pertama menikah, aku tau yang dia butuhkan adalah dekat dengan keluarganya. Aku selalu support kepindahannya ke Jogja, walaupun aku ga tau aku bakalan temenan sama sapa setelah dia pergi. Aku juga janji dari duluuu banget, aku gak akan nangis, suatu hari dia pindah. Kenapa sedih? Dia akan PULANG. Dan perasaan mau pulang itu adalah salah satu perasaan paling membahagiaan bagi setiap orang.

So, the day finally has come. Dia datang ke ruangan, beberapa kali meminta pamitan, tapi aku dengan childishnya menghindar. Sampai dia benar2 mau pulang, baru aku dengan berat hati dan berat mata karena pengen nangis, memeluknya. Everything was fine, untill she said: " Baik-baik ya, Icha harus kuat. Pasti Icha bisa! Pasti nanti Icha dapet segalanya yang lebih baik. Pasti. Udah ya, udah, jangan nangis". Dan kami menangis. We failed not to cry. Perpisahan selalu menyesakkan. Aku sadar sepenuhnya, mungkin tugasnya menyampaikan pesan untukku secara face to face sudah selesai. Sekarang dia akan pulang ke suami dan anaknya, dekat dengan mereka, dan mengalami pertemuan-pertemuan dengan orang-orang yang baru. She's too great to be in just one place. Banyak orang yang harus kenal dia, ngobrol sama dia, dan belajar dari dia. Ketemuan sama dia bikin aku semakin yakin, bahwa kecocokan jiwa itu gak bisa diukur secara kuantitatif, bukan ukuran berapa puluh tahun kita ketemu, tapi hanya bisa dirasakan secara kualitatif. How lucky i am to have something that makes saying goodbye is soooo hard!!



She's the best sister God had sent to me, ever.... Oh and, she will always be my super sister....

9 komentar:

fifi mengatakan...

aku merinding bacanya Cha...

Ariza mengatakan...

merinding aja apa sampe berkaca2,, hayoooh? hehehehe

Kiky mengatakan...

karet rambutnya samaaa!
*hahaha, minta ditimpuk sama icha komen g nyambung gini :P

Ariza mengatakan...

iya mell, aku pas pertama liat foto itu juga mbatin gitu kok,, hihihi

fifi mengatakan...

hehehehe....ketauan... :P

anak soroako mengatakan...

suatu waktu yang harus dilewati meski seberat apapun kita tidak menginginkannya (kalo boleh egois), tapi bener cha, kalo mba kanti bisa bahagia berkumpul dengan orang2 yang disayanginya (yang tentunya kita juga), kita juga wajib merasa bahagia tanpa perlu mengesampingkan perasaan hampa ditinggal kawan baik kita ini....
ihiks

Ariza mengatakan...

wihiii my silent reader yang ini komen juga akhirnya :P

iya, aku udah ga sedih lagi kok, itulah gunanya menulis di blog ini, jadi legaaaa... lagian masi bisa chatting sama mba kanti nya juga :)...

Anonim mengatakan...

what a lovely bound between you two :)
jadi terharu aku bacanyah *peyuk2 icha*

Ariza mengatakan...

hihihihi,,masa sih tyaaas... *peyuk2 tyas juga* thanks yaaaa...