Selasa, 29 Juni 2010

Adalah Saat Itu

Pada semua garis dari jelujur jaring laba-laba yang mewakili kehidupan, saya meyakini bahwa hidup ini adalah keterkaitan yang maha besar sekaligus maha kecil. Besar karena jalan hidup sudah ada yang menentukan, semua keterkaitan dan koinsiden adalah cara kehidupan bekerja. Kecil karena waktu yang singkat ini terlalu sedikit untuk dihabiskan hanya dengan mengejar sesuatu yang besar dan pada akhirnya tidak membuat kita bahagia.
Pada enam bulan terakhir ini, saya belajar satu hal lagi tentang diri saya sendiri. Betapa saya ternyata adalah seseorang yang sangat bahagia dalam melakukan pengamatan terhadap hal-hal kecil yang saya temui setiap harinya. Itulah kenapa saya senang diam di dalam bis atau kereta hanya untuk kemudian senang melihat ada salah satu rumah di sisi rel di perjalanan lewat jalur selatan, yang saya tengarai sengaja dibuat mirip dengan tengkorak manusia. 

Di saat setiap orang meyakini konsep kebahagiaan adalah mencari hal-hal besar, maka saya cukup tahu bahwa yang saya yakini indah pada waktunya itu bukanlah bahwa akhirnya saya sekarang punya pacar, part time lover and full time friend, seperti yang setiap orang katakan pada nasehat patah hati saya setengah tahun yang lalu. Karena Ya, saya adalah orang yang cukup sombong untuk bilang bahwa kalaupun hubungan saya waktu itu dilanjutkan kemungkinannya tetap 50:50 antara bahagia dan tidak. Menyimpulkan bahwa saya pasti tidak bahagia waktu itu dan sekarang saya bahagia makanya tidak perlu ada yang buat sakit hati adalah sesuatu yang terlalu pesimis dalam teori kehidupan saya.

Bahwa saya putus patah hati dan lalu saya sekarang bahagia, itu adalah deretan usaha perjuangan doa, yang dibingkai pada sebuah keterkaitan besar yang di luar kuasa saya. Jadi, putus atau nggak, saya tau, saya akan selalu berusaha untuk menjadi bahagia. Maka buat saya, sesuatu yang indah pada waktunya itu hanyalah duduk lesehan di suatu tempat makan bakmi jawa di Jogjakarta. Tepat di samping alun-alun, di suatu malam yang sedang ada konser Sheila on 7 di sana. 

Indah karena, saya akhirnya bisa sangat dekat dengan band cinta mati saya 10 tahun yang lalu itu, duduk sambil makan, dan tidak ada keriuhan untuk misalnya heboh lari-lari ke alun-alun untuk nonton langsung di sana, berjubelan, lalu nyanyi teriak-teriak dengan lirik yang hafal di luar kepala. Saya tetap duduk di tempat saya, melanjutkan makan bakmi jawa, lalu saya dan pacar saya akhirnya nyanyi-nyanyi dengan lirik yang ternyata masih hafal juga, dengan kebahagiaan sama dengan berdesak-desakan berusaha melihat penampilan langsung band idola. 

Indah karena saya merasa, semua sensasi kesenangan lari-lari dari panggung ke panggung, berusaha mencari spot terbaik untuk mengabadikannya dalam kamera, perasaan terharu saat lagu kesukaan dimainkan langsung didepan mata, semua itu sudah saya rasakan dan saya tangkap dalam-dalam di hati dan pikiran dari entah berapa pertunjukan live yang pernah saya datangi. 

Maka di hari itu, di malam itu, dengan kita yang sama dengan yang setiap harinya di Jakarta, rokokmu yang sama, kamera yang sama, dan obrolan tidak ada habisnya yang juga sama, ditemani variabel baru berupa bakmi jawa rekomendasi adikmu yang ngerjain kita, atmosfer kota Jogjakarta yang kita syukuri tidak sempat kita tinggali sebagai hunian sehingga rasa cantiknya tetap sama tanpa dinodai rutinitas, dan lagu-lagu sheila on 7 yang di saat jaya-jayanya, saya dan kamu bahkan belum pernah tahu bahwa suatu hari saya akan mencintai kamu lebih dari saya yang 10 tahun lalu memajang poster Eross Sheila on 7 di kamar saya yang bedinding warna biru..... 

.....Indah adalah saat itu.

Tidak ada komentar: