Selasa, 24 Mei 2011

Matah Ati

Sebenarnya, saya merasa tidak punya konsep apapun menuliskan resensi pertunjukan ini. Bahkan sejak pulang nonton sampai sekarang, saya cuma bisa terkagum dan indahnya masih resap. Tentang Rubiah, istri raja pertama Mangkunegoro I. Pertunjukan ini tentang perjalanannya sejak remaja, jatuh cinta, menjadi prajurit dan lalu panglima perang pasukan wanita, dan terakhir menjadi istri Raden Mas Said, sang raja.
Sejak awal tirai panggung dibuka, kombinasi antara tarian, gamelan, bahasa dan kostum yang taat kepada pakem Jawa, dan teknologi panggung yang sangat modern, membuat pertunjukan ini begitu indah. Tidak lupa juga cerita, yang amazingly berasal dari kisah nyata, begitu kuat untuk dijadikan penghayatan para penari dalam melakonkan gerakan. 

Matah Ati, yang awalnya saya pikir berhubungan dengan patah hati, ternyata adalah gelar yang diberikan Raden Mas Said kepada Rubiah, selain karena dia berasal dari desa Matah, Matah Ati berarti melayani hati pangeran.

Di awal pertunjukkan, saya dan Roti Srikaya sempat gegosipan, saking mahalnya tiket pertunjukkan ini, sampai-sampai artis sama ekspatriat aja nonton di kelas tiga sama seperti kami. Sepulang nonton, makan nasi uduk cikini, seperti biasa kami selalu berdiskusi tentang apa yang baru dilihat mulai dari yang penting seperti jalan cerita sampai yang remeh temen seperti betapa menyebalkannya penonton di belakang saya, sepanjang pertunjukan mengeluhkan tidak bisa bahasa Jawa sehingga dia tidak mengerti jalan ceritanya. Kalau dia cukup pintar, sebelum nonton, seharusnya sudah membaca buku program yang cukup tebal dan informatif itu,  toh waktu dipentaskan di luar negeri, penontonnya juga tidak ada yang mengenal bahasa yang digunakan di panggung.

Tentang harga tiket, jika dibandingkan dengan tiket pertunjukan dengan sifat kolosal yang mirip, let say ONROP!, kami yakin, penyelenggara Matah Ati ini sudah berusaha sangat keras untuk meminimalisir harga tiket. Dengan setting panggung yang jauh lebih rumit dari ONROP!, dengan waktu pertunjukan yang cuma 4 hari (ONROP! pentas selama 2 minggu), dengan jumlah pemain dan kru yang sama besarnya, pentas ini bisa dibilang hitungannya 'MURAH'.

Di sinilah letak ironinya. Setelah masa orde baru, pemerintah cukup 'memberi izin' pertunjukan, para pelaku seni sudah cukup puas. Tiga puluh dua tahun berkesenian dengan banyak tekanan, tentu mereka senang merasakan nafas lega. Bertahun-tahun setelah berakhirnya orde baru, sekarang ini, sudah seharusnya negara mendukung dalam bentuk bantuan finansial, sehingga pertunjukan bisa dipentaskan dengan kualitas bagus tetapi  harganya bisa dijangkau masyarakat luas.

Matah Ati ini harga tiket kelas tiga nya dikali dua kepala, cukup untuk menghabiskan budget nonton dan makan-makan gaya kami berdua. Di sinilah kami. Bulan Mei ini, sama sekali tidak nonton ke bioskop, dan tidak ada acara makan mahal di luar. Tapi perasaan bangga ikut menjadi bagian dari suatu karya seni yang mendapatkan standing ovation saat dipentaskan di Esplanade, Singapura ini, membayar balik semuanya. Tuntas.








  • Dan bertemu dengan jeung Okit satu ini bersama rombongan sirkusnya ;) *cups
  • Resensi yang lebih memadai bisa di googling ;)
  • Gambar tiket oleh Roti Srikaya, gambar lainnya dari sini dan sini.

2 komentar:

Ana mengatakan...

mba ichaaa T.T
mau nangis nih baca tulisanmu, sedih karena ngga punya kesempatan nonton, tiket sold out di hari kedua pas lagi mau mesen. :( :(
beruntung banget mba, bisa menikmati hal langka kaya gini. Semoga deh semoga, suatu saat akan ada lagi. :(

Ariza mengatakan...

Amiiin. Kalo ada lagi yg kayak gini, aku juga mau banget nonton lagi Na... Kalo aja ada tiket murahnya, mungkin kmrn aku mau banget nonton dua kali...

Next time, kalo ada pertunjukan yg kayaknya keren, harus pesen tiket at least seminggu sebelumnya, Na... *saran aja sih, hehehhe....