Senin, 08 Desember 2014

Teh Celup Lipton

Di tengah obrolan tentang peliknya sepiku, tentang cuaca dingin yang mulai aku nikmati, pada kolom percakapan lewat aplikasi android kamu mengirimkan gambar secangkir kopi hitam dan setangkup roti bakar. 

"Kopi? Hitam?", gambar ini seperti bukan kamu yang aku kenal bertahun-tahun lamanya. 

Lalu aku mulai ditimbuni perasaan bersalah. Aku antara tahu dan tidak tahu, antara menerka apakah maksudmu 'hanya' untuk membungkam kecerewetanku yang biasanya berderet-deret jika kuanggap kamu terlalu lama menjawab pesanku atau kamu menunjukkan seberapa jauh kita sudah berjalan dari titik terakhir yang bersinggungan.

"Ini aku sambil sarapan lho ya...", adalah caption yang menyertai.

Padahal memang sudah selama dan sejauh itu kita berjarak. Selama waktu yang kuhabiskan di Jakarta sampai beribu-ribu kilometer ke utara, dan sejauh wangi kopi flores yang katamu enak tiada dua. Rambutku sudah kupotong berkali-kali. Dan aku sudah menyerah pada kopi. Mirip seperti rasa menyerahku pada menemukan teman baru. Aku berkali-kali lipat lebih sinis dari yang pernah kamu tahu. Lebih sulit. 

Banyak yang saling kita lewatkan, lalu aku tiba-tiba muncul untuk menganggap bahwa sejauh dan selama apapun itu, kita masih sama. Apa kita masih sama? 

Mungkin masih dari hati yang ringan sampai ingin terbang. Masih juga dari saranmu yang suka berbelit-belit padahal cuma mau bilang sesuatu yang sesederhana: "Go out! Make friends, you moaning bitch!". Atau jeniusnya ide seperti: "I wanted to suggest you to bake some cookies with Martha, but then I thought it might be a bad idea...", yang mana kita berdua tau, beberapa minggu yang lalu aku bilang "I'm done with this Martha girl!". Sama dari tawa kencangmu setiap berhasil membuatku ngamuk karena saran-saranmu sungguh SANGAT membantu. 

Masih sama. Aku suka kamu yang sarkas.

Teh celup Lipton versus kopi hitam lokal, katamu. Argh. Seorang pecinta teh lipton ini yang dulu sering aku curi buku-buku kumpulan cerpen Kompasnya. Yang dia dapat dari lemari buku kakak-kakaknya. Teh lipton yang sering ada di tumpukan entah apa di kamar yang nggak jelas mana kasur mana lantainya, kamar yang sering aku gedor karena musik dari dalam terlalu kencang sampai-sampai penghuninya tidak mendengar ketukan dengan nada dasar normal.

Apa yang berbeda tidak mengubah apa-apa yang sejak awal sama. Sejak sebuah malam di ujung Jakarta, di saat semua, sesama mahasiswa baru memperkenalkan namanya masing-masing, kamu mengenalkan boneka monyet kecil bernama Rahayu. Aku kenal bonekamu bahkan sebelum tahu siapa nama aslimu. Lalu setoples permen kiloan warna-warni. Kaos pink gambar babi design temanmu yang seniman ternama Jogjakarta itu. Banyak. 


Tetap di situ ya. Mungkin sampai kita tua aku masih tiba-tiba muncul bercerita hal-hal di hidupku yang nggak terlalu penting. Dan biar aku sering ngomel, berjuta-juta kali bilang "shut up!", kamu tahu, aku sama sekali nggak keberatan kamu melanjutkan omong kosongmu. 


"Aku sekarang suka sepeda. Seru juga!", ada lagi setelah kopi hitam.
"Nggak sekalian download aplikasi macam Nike+ buat gowes?"
"Udah.Namanya Strava, btw"
"WTF??!!"
"Hahaha..." 


 

2 komentar:

kriww mengatakan...

Icha, apa kabar? Semoga Icha di sana baik2 saja seperti aku di sini.

Kayak surat sahabat pena banget sih hehehe, tapi I do mean it, Icha, semoga kamu selalu sehat bahagia ya...

Ariza mengatakan...

Thanks Kriww :)